Sabtu, 27 Maret 2010

kedilan Rasulullah saw

Dari Muslim bin Ibrahim, dari Qurrah bin Kholid, dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu berkata: Ketika Rasulullah saw sedang membagi harta ghanimah di Ji’raanah, ada seorang laki-laki berkata kepada beliau ‘Berbuat adillah’. Maka Rasulullah bersabda: “Sungguh celaka aku bila tidak berbuat adil”(HR.Al-Bukhari)


Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini adalah Shahih. Hadits ini juga dapat kita jumpai dalam kitab Shahih Muslim dalam Kitab Zakat bab Dzikrul Khowarij Wa Aushofihim ( Penyebutan Khowarij dan Sifat-sifatnya) no:1063. Dengan redaksi hadits yang sedikit berbeda.
Penjelasan hadits
Ghanimah adalah harta rampasan yang diperoleh dari hasil peperangan dengan musuh-musuh Islam berupa kuda dan yang lain-lainnya.
Ji’irraanah adalah sebuah tempat yang dekat dengan Makkah diluar al-Haram.
Yang di maksud seorang lak-laki itu adalah Dzul Khuwaishiroh Harqush bin Zuhair. Pimpinan Khowarij.
Biografi ar-Rawi al-A’la
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram, Al-Anshari As-Sulami. Termasuk shahabat yang sangat terkenal. Ia turut serta dalam perang Badar. Turut serta bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam 18 peperangan. Ia ikut serta dalam perang Shiffin bersama Ali Ridhiyallahu ‘Anhu. Termasuk di antara shahabat yang terbanyak hafalannya. Penglihatannya buta pada akhir umurnya dan meninggal dunia pada tahun 74 atau 77 H di Madinah dalam usia 94 tahun. Ia adalah shahabat yang terakhir meninggal dunia di Madinah.
Beliau banyak menimba ilmu dari Nabi saw, Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Zubair dan dari sahabat yang lainnya. Sedang orang-orang yang menimba ilmu darinya di antaranya Ibnu Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, Salim bin Abi Ja’d, Hasan Al Basri, Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah, Muhammad bin Munkadir, Asy Sya’bi, Mujahid, Asy Sya’bi, Thawus, dan yang lainnya.
Pelajaran dari hadits
1. Diantara sifat seorang Dai adalah adil
Bagi seorang Da’i seharusnya mempunyai sifat adil ini, dan sifat ini adalah sifat yang terpenting yang seharusnya dimiliki oleh seorang Da’i. Dalam Hadits ini nampak atas pentingnya sifat adil. Ketika Rasulullah mengatakan “Sungguh celaka aku bila tidak berbuat adil”
Di dalam Al Qur’an, banyak sekali Allah Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman supaya berbuat adil, diantaranya Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An Nisa’: 58)
Sifat adil Rasulullah saw yang lain dapat kita dapatkan dalam riwayat lain diantaranya:
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, suku Quraisy disibukkan dengan keadaan seorang perempuan Makhzumiyah yang telah mencuri. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Usamah bin Zaid membicarakannya dengan Rasulullah. Beliau bersabda, “Apakah kamu akan memberi syafaat terhadap batasan-batasan (hukum) Allah?” Kemudian beliau berdiri seraya berkhutbah, “Sesungguhnya kehancuran kaum sebelum kalian disebabkan kondisi mereka jika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya, dan jika yang mencuri adalah orang rendahan maka mereka menegakkan hukuman atasnya.”
وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.”(Mutafaqun ‘Alaih)
Keadilan memiliki banyak aspek yang dapat ditunjukkan, antara lain:
a. Adil terhadap Allah, yaitu tidak berbuat syirik/menyekutukan Allah dengan selain-Nya di dalam beribadah kepada-Nya, sifat-sifat-Nya ditaati dan tidak dimaksiati, senantiasa dzikir tanpa melupakan serta bersyukur tanpa ingkar nikmat.
b. Adil menghukumi antara manusia, dengan memberikan hak-hak kepada masing-masing yang berhak dan barang-barang yang menjadi haknya.
c. Adil di antara para istri dan anak-anak dengan tidak memberikan kelebihan dan mengutamakan salah satu atas lainnya atau kepada sebagian atas sebagian yang lainya.
d. Adil di dalam perkataan, hingga tidak bersumpah palsu, berkata dusta atau batil
e. Adil di dalam berkeyakinan, sehingga tidak meyakini hal-hal yang tidak benar, tidak jujur dan hati tidak ragu-ragu pada sesuatu yang tidak benar dan tidak nyata.
2. Diantara Metode dakwah adalah dengan menyebutkan ancaman
Hadits ini menunjukkan atas ancaman sebagai metode dalam berdakwah di jalan Allah. Sebagaimana perkataan Rasulullah saw kepada seorang laki-laki “Sungguh celaka aku bila tidak berbuat adil”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, yang dimaksud dengan perkataa “Sungguh celaka aku” adalah sungguh engkau telah sesat wahai orang yang mengikuti bila engkau tidak berbuat adil, atau barangsiapa yang menyakini bahwa Rasulullah saw tidak berbuat adil maka dia tidak termasuk orang yang Mukmin.”
Di antara salah satu uslub yang harus dimiliki seorang da’i adalah memberikan tarhib lawan daripada targhib. Tarhib artinya menakut-nakuti mad’unya dengan adzab Allah jika larangan Allah dilanggar. Dalam posisi seperti itu berarti seorang da’i sedang menjadi nadzir (pemberi peringatan) yang merupakan salah satu tujuan diutusnya Rosul kepada setiap umatnya. Allah berfirman tentang kisah Nabi Nuh:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ .أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan".(QS.Hud:25-26)
Begitu juga Rosul-Rosul yang lain sampai Nabi Muhammad saw, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Al Furqan: 56)
Maksud dari kata Basyiran adalah memberikan kabar gembira atau janji dengan jannah bagi siapa yang mentaati Allah dan Rosul-Nya, sedangkan kata Nadziran maksudnya adalah memberikan peringatan atau ancaman dengan adzab Allah kepada siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rosul-Nya.
Maka dalam hadits di atas pun tampak dari Nabi saw yaitu perkataan beliau saw: “Sungguh celakalah aku jika aku tidak berbuat adil” Beliau saw mengancam dirinya sendiri dengan kecelakaan jika memang dirinya tidak berbuat adil dalam pembagian ghanimah.
3. Diantara sifat seorang Da’i adalah al-Hilmu (Murah Hati)
Sikap murah hati adalah sifat yang paling mulia yang seharusnya dimiliki oleh para ahli ilmu dan iman. Dengan sifat ini manusia dapat menahan dirinya dari keinginan untuk marah dan membalas. Dan sifat ini nampak jelas dalam hadits di atas, karena Rasulullah saw tidak menghukum seorang yang mengatakan kepada beliau “ Berbuat Adillah”, ini menekankan atas murah hatinya Rasulullah saw.
Untuk mengetahui murah hatinya Rasulullah saw dapat dilihat dalam riwayat Muslim, dalam akhir hadits beliau menyebutkan:
“Berkata Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu: "Ya Rasulullah, biarkanlah aku untuk membunuh orang munafik ini." beliau bersabda: "Aku berlindung kepada Allah, jika orang-orang mengatakan bahwa aku membunuh sahabatku. Sesungguhnya orang ini dan para sahabatnya senantiasa membaca Al Qur`an namun tidak sampai melewati tenggorokan mereka. mreka keluar darinya (Islam) sebagaimana meluncurnya panah dari busurnya."
Yang dimaksud dengan “tidak sampai melewati tenggorokan mereka” adalah tidak mengetahui hati-hati mereka dan tidak akan bermanfaat apa-apa yang mereka usahakan. Dan mereka tidak mempunyai keberuntungan kecuali dengan bersilat lidah dan pangkal tenggorokan. Dalam kata lain amal mereka tidak akan membuatnya tinggi dan tidak akan diterima.
Begitu juga Nabiyullah Ibrahim, Allah menyatakan di dalam firman-Nya tentang sebagian sifatnya. Firman-Nya
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS At Taubah: 114)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di di dalam tafsirnya, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Halim di sini adalah seorang yang memiliki rasa kasih sayang kepada sesama makhluk, suka memaafkan kesalahan orang lain terhadap dirinya.
4. Perlakuan jelek sebagian mad’u
Sesungguhnya adab yang terpenting dan yang seharusnya dimiliki oleh Mad’u kepada para Da’i dan ulama’ adalah bersopan santun kepada mereka, menimba ilmu dari mereka, dan berakhlak dengan akhlak para ahlu ilmi. Dalam hadits ini nampak jelas kejelekan akhlak seseorang laki-laki ini kepada Rasulullah saw yang merupakan pemimpin ulama, imam yang paling bertaqwa.
Didalam hadits ini juga menunjukkan bahwasannya sebagian Mad’u mempunyai sifat keras kepala (tabiat), jelek dalam sopan santun dan akhlak. Oleh karena itu diharuskan bagi para Mad’u untuk memuliakan dan menghormati ulama serta mengambil manfaat dari mereka.
5. Diantara kaidah dalam berdakwah “ Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan”
Dalam hadits ini menunjukkan satu kaidah dalam berdakwah “ Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan”. Ini ditunjukkan ketika seorang laki-laki yang berbicara kepada Rasulullah saw “Berbuat adillah”. Pada dasarnya dengan kalimat ini seseorang telah berhak untuk dibunuh, akan tetapi Rasulullah memaafkan dengan maksud mencegah kerusakan atau fitnah yang akan timbul jika dilakukan. Ini dikuatkan dengan riwayat Imam Muslim, dalam akhir hadits beliau menyebutkan:
Berkata Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu: “Ijinkan aku untuk membunuh orang Munafik ini ya Rasulullah?’ Maka Rasulullah saw bersabda: Aku minta perlindungan kepada Allah, nanti manusia mengira bahwa saya membunuh sahabat saya sendiri”.
Padahal membunuh orang munafik ini adalah sebuah kemaslahatan, akan tetapi dengan meninggalkan kemaslahatan ini, maka kerusakan atau fitnah bahwa manusia akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya tidak akan terjadi. Lambat laun dengan meninggalkan maslahat maka kerusakan akan terbendung.
Dan diantara menolak atau mencegah kerusakan juga sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw bersama ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul, ketika ‘Abdullah bin Salul berusaha keras untuk membunuh Rasulullah saw. Maka Umar radhiallahu ‘Anhu: Wahai Rasulullah, Biarkan aku menebas leher orang munafik ini? Maka Rasulullah saw bersabda: ‘Biarkan dia, supaya manusia tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.”
Dan juga sabda Rasulullah saw kepada ‘Aisyah Radhiyallhu ‘Anha:
يَا عَائِشَةُ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لَأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ بَابًا شَرْقِيًّا وَبَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ
"Wahai ‘Aisyah, Seandainya bukan karena keberadaan kaummu yang masih lekat dengan kejahiliyahan, tentu aku sudah perintahkan agar Ka'bah Baitulloh dirabohkan lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang sudah dikeluarkan darinya dan aku akan jadikan (pintunya yang ada sekarang) rata dengan permukaan tanah, lalu aku buat pintu timur dan pintu barat dengan begitu aku membangunnya diatas pondasi yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam"(Mutafaqun ‘Alaih)
Dalam kaidah ini terdapat juga kaidah yang mengatakan:
اذا تعارض مفسدة ومصلحة قدّم دفع المفسدة غالباً
“Apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah didahulukan menolak yang mafsadah”
Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian syara’ terhadap larangan lebih besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperintah.
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
“Apabila saya melarang kepadamu dari mengerjakan sesuatu, maka tinggalkanlah perbuatan itu, dan apabila saya memerintahkan kepadamu sesuatu perintah, maka hendaklah kamu laksanakan perintah itu sekuatmu.”(al-Bukhori)
Apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat atau maslahat, namun di situ juga ada mafsadah atau kerusakan, maka haruslah didahulukan menghilangkan mafsadah atau kerusakan karena kerusakan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.
اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمهما ضرراً بارتكاب اخفّها
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar madhoratnya dengan dikerjakan yang lebih ringan madhoratnya”.
Apabila datang pada suatu ketika secara bersamaan dua mafsadah atau lebih, maka harus diteliti mana yang lebih kecil atau lebih ringan dari kedua mafsadah tersebut. Yang lebih besar mafsadahnya ditinggalkan, dikerjakan yang lebih ringan madharatnya. Inilah kaidah dalam berdakwah yang seharusnya seorang Da’i mengetahui betul permasalahan ini.

Referensi:
1. Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Ibnu Katsir, (Riyadh: Darus Salam, 1228 H), Jilid 3.
2. Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, Syaikh as-Sa’adi, (Bairut: Mu’assasah ar-Risalah 2002 M).
3. Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, (Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah 1419 H), Cet. Ke-6.
4. Ensiklopedi Islam Al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, (Darus Sunnah Press, Jatinegara, Jakarta Timur 2007), Cet. Ke-2.
5. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Drs.Abdul Mudjib, (Kalam Mulia, Jakarta) Cet. Ke-3.
6. Subulussalam, Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, (Darus Sunnah, Jatinegara, Jakarta Timur 2006), Cet. Ke-1, Jilid 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar