Sabtu, 27 Maret 2010

ALLAH TERTAWA KEPADA KEDUA LELAKI YANG SALING MEMBUNUH DAN AKHIRNYA KEDUANYA MASUK SURGA

Oleh : Walad & Fadila Rahim
حَدَّثَنَا عَبْد اللّهِ بْن يوسفَ : أَخْبَرَنَا مَالِك، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ. رضي الله عنه أَنَّ رَسولَ اللّهِ - صلى الله عليه وسلم - قالَ : « يَضْحَك اللّه إِلى رجلَينِ يَقتل أَحَدهمَا الآخرَ يَدخلانِ الجَنَّةَ ، يقَاتِل هَذَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فيقْتَل ، ثم يَتوب اللّه عَلَى القَاتِلِ فَيسْتَشْهَد.
Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu az-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah tertawa terhadap dua orang dimana yang satu membunuh yang lainnya namun yang satu berperang di jalan Allah hingga terbunuh. Kemudian Allah menerima taubat orang yang membunuhnya lalu diapun (berperang) hingga mati syahid". [HR. Bukhari].
Penjelasan rawi a’la
Rowi a’la dalam hadits di atas adalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Nama beliau: Dalam penamaan beliau para ulama’ berbeda pendapat, ada yang mengatakan Abdurrahman bin Shokhr, sebagian lain ada yang mengatakan, Ibnu Ghonam, ada yang mengatakan nama aslinya adalah Abdus Syams atau Abdullah, ada yang mengatakan Sakin, ada yang mengatakan Amir, ada yang mengatakan Barir, ada yang mengatakan Abdullah bin Ghonam, ada yang mengatakan Amru, ada yang mengatakan Sa’id. Demikianlah beberapa bendapat dalam penamaan bapaknya.
Adapun nama beliau ketika jahiliyah adalah: Abdus Syams, Abu Aswad, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya Abdullah dan laqobnya Abu Hurairah.
Sebab penamaan Abu Hurairah
Beliau adalah seorang yang fakih, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namanya yang sudah terkenal adalah Abdurrahman bin Shokhr, adapun nama pada masa jahiliyyahnya adalah Abdus Syams, beliau mengatakan, bapakku menyebutku Abu Hurairah dikarenakan suatu ketika aku mengembala kambing, kemudian aku menemukan anak kucing, ketika aku melihat dan mendengarkan suaranya aku mengabari bapakku, kemudian ia berkata: kamu Abu Hurrah (pemilik kucing), padahal namaku Abdus Syams.
Kelebihannya dalam Hafalan dan Ingatan
Abu Hurairah ra termasuk salah seorang sahabat Nabi yang mempunyai bakat-bakat istimewa. Beliau ra mempunyai kemampuan dan kekuatan yang luar biasa dalam hal hafalan dan ingatan. Kelebihan yang dimilikinya bisa menangkap apa yang didengarnya sedang ingatannya sangat kuat untuk menghafal dan menyimpan. Didengarnya, ditampungnya lalu terpatri dalam ingatannya hingga dihafalnya, hampir tak pernah dia melupakan apa yang telah didengarnya, sekalipun usianya semakin bertambah. Itu terjadi setelah Allah mengabulkan do'a Rosulullah saw untuk Abu Hurairah ra supaya diberi kelebihan dalam menghafal.
Walaupun demikian, dulunya Abu Hurairah ra mempunyai ingatan yang lemah lalu beliau mengadu kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah saw mendoakan agar Abu Hurairah ra diberkati dengan daya ingatan yang kuat. Semenjak hari itulah Abu Hurairah dikaruniai dengan daya ingatan yang kuat yang membolehkan beliau meriwayatkan jumlah hadis terbanyak di kalangan para sahabat.
Mengapa Abu Hurairah ra termasuk Sahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits
Abu Hurairah ra berjaya meriwayatkan banyak hadits disebabkan beliau sentiasa berdampingan dengan Rasulullah selama tiga/empat tahun, selepas memeluk Islam. Ini sebagaimana yang di riwayatkan olehnya :
"... sesungguhnya saudara kami dari golongan Muhajirin sibuk dengan urusan mereka di pasar sedangkan orang-orang Ansar sibuk bekerja di ladang mereka sementara aku seorang yang miskin sentiasa bersama Rasulullah saw 'Ala Mil'i Batni. Aku hadir di majlis yang mereka tidak hadir dan aku hafal pada masa mereka lupa." (Al-Bukhari)
Pelajaran Hadits
Pertama : Menetapkan Sifat-Sifat Sempurna Bagi Allah Ta’ala
Hadit ini menunjukkan bahwa penetapan sifat-sifat bagi Allah Ta’ala adalah termasuk pokok pembicaraan dakwah, dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai hadits :
يَضْحَك اللّه إِلى رجلَينِ يَقتل أَحَدهمَا الآخرَ يَدخلانِ الجَنَّةَ
“Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lainnya sehingga kedua-duanya masuk Surga”.
Dan ini menunjukkan penetapan bahwa Allah Ta’ala tertawa. Dan tidak diragukan lagi bahwa bagi seorang da’i harus menjelaskan kepada mad’unya mengenai sifat Allah Ta’ala yang sempurna. Allah Ta’ala menyifati diri-Nya dengan ketentuan-Nya dan dengan apa yang telah disifati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa tahrif dan ta’thil dan juga tanpa takyif dan tamtsil. Al-Walid bin Muslim rahimahullah mengatakan, “Aku bertanya kepada al-Auza’i, kepada Sufyan at-Tsauri kepada Malik bin Anas dan juga kepada al-Laits bin Sa’ad mengenai hadits ini, bahwa mereka mengatakan tidak menggunakan takyif, bukankah Allah Ta’ala menyifati dirinya? atau yang telah disifati oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang yang menyerupakan diri-Nya dengan suatu benda lain adalah mereka yang menyembah patung, kemudian dengan orang atheis mereka menyembah yang tidak ada, kemudian ahli tauhid menyembah ilah yang satu (yaitu Allah Ta’ala).
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat”.
Allah Ta’ala telah memberikan pengingkaran kepada orang musyrik yang menjadikan sesembahan selain Allah Ta’ala dan dikabar pula bahwa Allah lah yang berhak disembah, tidak ada sesembahan selain-Nya, sesungguhnya Allah lah yang Maha kuasa terhadap kehidupan dan kematian.
Sudah menjadi keharusan bagi seorang da’i menjelaskan kepada mad’unya dengan hikmah, bahwa kalam pada sifat seperti kalam pada dzat, maka bagaimana kita menetapkan bagi Allah Ta’ala dengan suatu dzat dan tidak menyerupakan-Nya dengan dzat yang lainnya?, maka dengan itu dikatakan bahwa janganlah menyerupai sifat-Nya dengan yang lainnya, dan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya baik dzat-Nya, sifat-Nya, asma’-Nya maupun perbuatn-Nya dan janganlah menyerupai sifat-Nya dengan makhluk-Nya.
Bagi seorang da’i juga harus menjelaskan kepada mad’unya bahwa sifat-sifat Allah Ta’ala terbagi menjadi dua bagian :
Pertama : sifat-sifat dzatiyah tentang Allah Ta’ala yang tidak hilang, artinya tidak akan lenyap dan senantiasa disifati dengan-Nya, seperti al-Ilmu, al-Hayah, al-Qudrah, as-Sam’u, al-Basharu, al-Ghani, al-Kiram, al-‘Uzhmah, al-Kibriya’, al-‘Izzah, al-‘Uluw dan yang lainnya yang termasuk kesempurnaan bagi sifat-sifat Allah Ta’ala.
Kedua : sifat-sifat fi’liyah Allah Ta’ala, yaitu yang berkaitan dengan masyiah dan qudrah Allah Ta’ala, seperti istiwa’ Allah Ta’ala, nuzul-Nya, datang-Nya, tertawa-Nya, ridha-Nya, murka-Nya, kehidupan-Nya, kegembiraan-Nya cinta-Nya dan yang lainnya yang termasuk kesempurnaan bagi sifat-sifat Allah Ta’ala, dan inilah sifat-sifat Allah Ta’ala yang berkaitan dengan masyiah-Nya.
Iman kepada seluruh sifat-sifat-Nya adalah termasuk dari kewajiban, macam-macam sifat Allah Ta’ala tidak ada yang mengetahuinya, dengan demikian Imam Malik bin Anas rahimahullah ditanya tentang bagaimana istiwa’nya Allah Ta’ala, ia menjawab, “istiwa’nya Allah Ta’ala maklum (diketahui) dan membagaimanakannya adalah suatu kebodohan dan iman kepada-Nya adalah wajib, dan mempertanyakan-Nya adalah kebid’ahan, dengan demikian semua sifat diterapkan seperti penjelasan tadi.
Allah Ta’ala berfirman :
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga...”
Imam al-Lalika’i rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berada di langit dan ilmunya meliputi semua tempat dari bumi dan langit-Nya.
Dan bagi seorang da’i juga harus menerangkan kepada mad’unya tentang masalah aqidah ini sebagaimana di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua : Anjuran Bertaubat
Dosa itu merupakan tabir yang menutupi apa yang terhalangi. Sementara menghindar dari hal-hal yang bisa menjaukan diri dari apa yang terhalangi itu wajib. Hal ini bisa terwujud dengan ilmu, penyesalan dan hasrat. Selagi seseorang tidak tahu bahwa dosa merupakan sebab yang menjauhkan dari apa yang terhalangi itu, maka dia tidak akan merasa menyesal melakukan dosa dan tidak merana karena berjalan menjauh. Jika tidak merasa merana, berarti dia tidak akan kembali.
Pada hadits ini juga menunjukkan akan keharusan seseorang bertaubat dan taubat sendiri termasuk dari dakwah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثم يتوب اللّه على القاتل فيستشهد...
“Kemudian ia bertaubat kepada Allah karena telah membunuh, kemudian ia berperang dan mati syahid…
Pada penjelasan hadits ini bahwa Islam meleburkan kesalahan sebelumnya, adapun taubat dapat mengahapuskan kesalahan sebelum ia bertaubat, maka diharuskan bagi seorang da’i yang menyeru kepada Allah Ta’ala agar menganjurkan kepada mad’unya bertaubat dan menjelaskan kepadanya bahwa Allah Ta’ala telah menyuruh demikian, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa...” .
Kemudian dalam firman lainnya :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah, karena aku bertaubat seratus kali dalam sehari.' "
Syarat Taubat
diantara syarat-syarat taubat adalah: menyesal dari perbuatan yang telah dilakukan, meminta ampun kepada Allah Ta’ala dari perbuatan dosa tersebut, berkeyakinan tidak akan kembali lagi kepada jalan keburukan itu dan mengembalikan barang yang ia zhalimi (kalau itu bentuk barang) dan jika bukan barang, seperti orangnya, maka ia harus minta maaf kepadanya. Oleh karena itu orang yang bertaubat dari perbuatan dosa bagaikan orang yang tidak mempunyai dosa.
Pernah Umar bin Khathab ditanya mengenai taubat nasuha, ia menjawab, “Hendaklah orang itu bertaubat dari perbuatan yang buruk, kemudian janganlah ia kembali lagi kejalan yang buruk selamanya.
Kemudian Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas mengatakan makna توبة نصوحاًadalah ia bertaubat dan tidak mengulanginya kembali, kemudian Abdu bin Humaid dan Ibnu al-Mundzir dari Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yang dimaksud kalimat توبة نصوحاً adalah taubat dengan tulus murni dan jujur.
Allah SAW menjanjikan bahwa apabila seseorang itu bertaubat, maka dosanya akan diampuni oleh Allah sebagaimana sebelumnya, hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
Firman Allah:
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (asy-Syura: 25)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amru bin al-‘Ash :
أما علمت أنّ الإِسلام يهدم ما كان قبله، وأن الهجرة تهدم ما كان قبلها ، وأن الحج يهدم ما كان قبله
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Islam telah menghapuskan dosa dan hijrah menghapuskan (kesalahan) sebelumnya pula, kemudian haji dapat menghapuskan (kesalahan) sebelumnya pula, begitu juga dengan taubat dapat menghapuskan (kesalahan) yang sebelumnya yang ia lakukan”.
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
"Sesungguhnya Allah 'azza wajalla akan menerima taubat seorang hamba, selagi ia belum sakaratul maut."
Namun bagaimana kondisi orang yang bertaubat nanti di akhirat apakah ia termasuk dalam firman Allah yang berbunyi:
لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qoof: 22)
Ibnu katsir dalam tafsirnya menjelaskan tentang ayat di atas, bahwa ada berbedaan di kalangan ulama’ menyenai permasalahan ini. Dintaranya adalah:
Pertama: Bahwasanya yang dimaksud ayat ini adalah orang kafir. Hal ini berdasarkan riwayat Ali bin Abi Tholhah, dari Ibnu Abbas, dengannya juga berkata Dhohhak bin Muzahim dan sholeh bin kisan.
Kedua: Setiap seseorang baik yang berbuat baik maupun yang berbuat kejelekan, dikarenakan akhirat bila dibandingkan dengan dunia adalah ibarat orang yang bangun dari tidurnya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan dinukil dari Husen bin Abdillah bin Ubaidillah bin Abbas.
Ketiga: Bahwasanya lawan bicara dalam konteks ini adalah Nabi SAW. Yang berbendapat seperti ini adalah Zaid bin Aslam dan anaknya.

Ketiga : Menghindari Keputus asaan dari rahmat Allah Ta’ala
Sudah tidak diragukan lagi bahwa Allah Ta’ala akan menerima taubat bagi orang yang bertaubat kepada-Nya. Dan orang kafir jika bertaubat dari kekafirannya niscaya Allah Ta’ala akan menerima taubatnya, walaupun ia telah membunuh orang Islam, taubatnya akan diterima, karena perbuatan syirik adalah dosa yang amat besar, maka dengan ia masuk Islam dosanya telah terhapus.
Perlu diketahui bahwa dosa syirik yang begitu besar saja bisa diampuni apalagi dosa selain syirik, maka lebih mudah lagi bagi Allah Ta’ala menghapusnya, justrunya ia harus masuk Islam terlebih dahulu kemudian bertaubat dan tidak mengulanginya lagi. Dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda pada hadits diatas :
ثم يتوب اللّه على القاتل فيستشهد...
“Kemudian ia bertaubat kepada Allah karena telah membunuh, kemudian ia berperang dan mati syahid…
Maka diharuskan bagi yang bertaubat menghilangkan keputus asaan dari rahmat Allah Ta’ala dan juga putus harapan dari rahmatnya juga. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“…dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala hanyalah orang-orang yang kafir.
Penjelasan daripada ayat ini maksudnya adalah janganlah memutus harapan dari kelapangan Allah Ta’ala dan itulah penyebab dilarangnya berputus asa, kecuali orang kafir, mereka selalu berputus asa.
Ya’qub berkata, “Wahai anak-anakku kembalilah ke Mesir lalu carilah berita-berita Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa terhadap harapan kalian dari rahmat Allah Ta’ala, sesungguhnya tidak ada pemisah dari rahmat Allah Ta’ala kecuali orang yang menentang ketentuan-Nya yaitu orang yang kafir terhadap Allah Ta’ala .
Imam at-Thahawi menyatakan bahwa putus asa adalah jalannya orang-orang kafir dan ini adalah perkataan Allah Ta’ala terhadap orang kafir yang putus asa.
إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الكَافِرُونَ
“...Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala hanyalah orang-orang yang kafir.”
Dan sudah jelas bahwa Allah Ta’ala melarang semua itu dan juga penyebab dari semua itu adalah karena kebiasaan orang-orang kafir dan mereka merasa aman dari makar Allah Ta’ala, dan orang yang merasa aman dari makar Allah Ta’ala adalah jalannya orang-orang yang memenuhi hawa nafsunya yang mana mereka tidak menjaga Allah dan juga tidak menjaga sifat-sifat Allah Ta’ala.
Dan perlu digaris bawahi bahwa orang yang merasa aman dari makar Allah Ta’ala adalah suatu kekufuran dan juga orang yang berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala adalah suatu kekufuran juga, sebagaimana dikatakan oleh Imam at-Thahawi, “Aman dari makar Allah Ta’ala dan putus asa dari rahmat-Nya dapat menyebabkan keluar dari Agama Islam, karena Allah Ta’ala menyifati orang-orang kafir dan orang-orang yang merugi adalah dengan siksaan dan adzab, karena mereka telah merasa aman dari makar Allah Ta’ala dan sekaligus mereka telah putus asa dari rahmat Allah Ta’ala.
Adapun kalangan Ahlu sunnah wal Jama’ah mereka adalah orang yang tidak merasa aman dari siskasa-Nya, bahkan mereka takut terhadap dosa yang mereka lakukan dan takut terhadap siksa-Nya, kemudian para Malaikat juga takut terhadap Rabb-Nya, padahal Malaikat adalah makhluk yang paling terdekat disisi-Nya dan juga mereka suci dari dosa-dosa, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
Kemudian dalam firman lainnya :
إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Apabila Telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka Berkata "Apakah yang Telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" mereka menjawab: (Perkataan) yang benar", dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dan semua ini semua kembali kepada orang yang melakukan kebenaran dan mengamalkan sunnah Rasul-Nya, mereka mengharapkan rahmat dari Allah Ta’ala dan takut akan adzab yang akan menimpa diri mereka, sebagaimana Allah Ta’ala sifatkan kepada wali-wali-Nya dalam ayat :
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka[857] siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”
Dan inilah sifat-sifat orang yang bertakwa kepada Allah Ta’ala. Begitu juga dalam ayat lainnya :
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.”
Maka terkumpulah sudah bagi mereka antara rasa cinta dan takut kepada Rabb-Nya. Dan jika diperjelas kembali bahwa rasa aman dari siksa-Nya dan putus asa atas rahmat-Nya adalah bentuk perbuatan yang menyebabkan pelakunya bisa keluar dari agama Islam, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam at-Thahawi { ينقلان عن ملة الإسلام } “Keduanya dapat menyebabkan keluar dari Agama (Islam).” Tetapi jika terdapat dalam dirinya itu ada rasa putus asa dan ada rasa harap, maka ia tidak keluar dari Agama Islam
Keempat : Rasa Cinta
Hadits ini juga menunjukkan rasa cinta kita kepada Islam dan rasa cinta terhadap jihad di jalan Allah Ta’ala dan rasa harapan taubat kita terhadap semua dosa yang telah kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan pada hadits tersebut mengenai seorang pembunuh yang bertaubat kepada Allah Ta’ala (masuk Islam), kemudian ia berperang di jalan Allah Ta’ala lalu terbunuh, maka ia masuk Surga.
Makna pada hadits ini menurut pandangan ulama, bahwa pembunuh yang pertama tadi dahulunya ia kafir, taubatnya telah disebutkan dalam hadits ini (keislamannaya).
Allah shubhanahu wa ta’ala berfirman :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi , Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”.
Maksuda dari ayat ini adalah, bahwa mereka dahulu kafir dan bermusuhan kemudian mereka masuk Islam dan melaksanakan ketaatan dan bertaubat dari perbuatan mereka yang dahulu dilakukan, dan Allah Ta’ala mengampuni perbuatan mereka yang telah lalu yaitu kekafiran mereka, perbuatan dosa mereka dan kesalahan mereka, sebagaimana dalam hadits shahih yang ketika itu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah kami dikenai sangsi terhadap amalan kami diwaktu jahiliyyah?. Kemudian beliau bersabda :
مَنْ أَحْسَنَ فِي الْإِسْلَامِ لَمْ يُؤَاخَذْ بِمَا عَمِلَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَمَنْ أَسَاءَ فِي الْإِسْلَامِ أُخِذَ بِالْأَوَّلِ وَالْآخِرِ

“Bagi siapa yang memperbaiki dirinya ke dalam Islam, maka ia tidak dimintai sangsi terhadap amalannya diwaktu ia masih Jahiliyyah dan bagi siapa yang berbuat keburukan didalamnya, maka ia dimintai pertanggung jawaban terhadap perbuatan yang ia lakukan dari awal hingga akhir”. [HR. Muslim].
Dalam shahih Bukhari, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الإسلام يَجُبُّ ما قبله والتوبة تجب ما كان قبلها
“Islam itu menghilangkan kesalahan sebelumnya dan taubat itu menghilangkan kesalahan sebelum ia bertaubat”.

Apabila mereka kembali lagi kedalam kekafiran mereka, maka sudah menjadi ketetapan atas mereka adzab sebagaimana orang-orang sebelum mereka, bahwa mereka berbohong dan ditambah lagi terhadap kedurhakaan mereka, kemudian Allah Ta’ala menyegerakan kepada mereka adzab dan siksaan.
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata tentang faidah pada hadits ini, yaitu bahwa hadits ini menunjukkan bagi siapa yang mati dalam keadaan berperang di jalan Allah, maka ia masuk Surga (insyaAllah) begitu pula bagi yang berperang dalam rangka menegakkan kalimat Allah Ta’ala ia masuk Surga.
Maka diharuskan bagi seorang da’i yang menyeru kepada jalan Allah Azza wa jalla agar memberikan kepada manusia rasa cinta terhadap Islam dan menyuruh mereka agar selalu bertaubat dari kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat.

Maraji’ :
1. “Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim”. Al-Hafizh ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Jilid IV, (Pustaka Daar al-Faiha’ dan Daar as-Salam, Cet II, thn 1418 H – 1998 M).
2. “Addurrul al-Manshur fie at-Tafsir al-Ma’tsur”. Imam Abdurrahman al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi. Juz VI, (Pustaka Daar al-Fikr, thn 1414 H – 1993 M).
3. “at-Tafsiir al-Muyassar.” Majmuah minal Ulama dibawah bimbingan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki.
4. “Syarh al-Aqidah at-Thahawiyah.” Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi at-Thahawi.
5. “Shahih Muslim”. Imam Muhyiddin an-Nawawi, (Beirut-lebanon: Dar al-Ma’rifah, 1420 H-1999 M) cet. VI, jilid. II.
6. “Fiqhu ad-Da’wah fie as-Shahih al-Imam al-Bukahri”. Sa’id bin Ali bin Wahb al-Qahthani, cet I, jilid I, thn 1421 H.
7. “Siyaru A’lami an-Nubala’. Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad Bin Ustman Adz Dzahabi. (Beirut-lebanon: Dar al-Fikr, 1417 H/1997 M) cet. I, juz. IV.
8. “Tadzkiratul huffadz”, Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad Adz Dzahabi, (Maktabah Ibnu Taimiyah) cet. VII, jilid. I.
9. “Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim”, Ibnu Katsir, (Damaskus: Maktabah Daar al-fiiha’, 1418 H/1998), cet. II,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar